Wednesday, July 31, 2013

BERKAITAN DENGAN SESEORANG YANG MENGGAULI ISTERINYA KARENA ALASAN LUPA


Penulis Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary
Terdapat dua pendapat dikalangan ulama,
Pertama,   bahwa   hukumnya   sama   dengan   makan   dan   minum,   jika dilakukan  karena  alasan  lupa.  Pendapat  ini  adalah  pendapat  mayoritas ulama.
Mereka berargumen dengan hadits-hadits diatas. Dan mengatakan bahwa, hubungan suami istri tidaklah menggugurkan puasa jika dilakukan karena lupa dianalogikan kepada makan dan minum.
Kedua,  bahwa  jima  yang  dilakukan  karena  lupa,  menggugurkan  puasa seseorang. Berbeda dengan makan dan minum.
Pendapat ini adalah mazhab imam Ahmad, dan juga merupakan pendapat Atha` dan ats-Tsauri.
Mereka  berargumen  dengan  zhahir  hadits  Abu  Hurairah  diatas.  Dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak   merincikan   status   sahabat   yang   mengadukan keadaannya telah melakukan jima’ pada siang hari Ramadhan, apakah dia melakukannya dengan sengaja atau karena lupa.
Yang tepat -insya Allah- adalah pendapat kedua, berdasarkan kaidah Ushuliyah  yang  menguatkan  argumentasi  zhahir  hadits  Abu  Hurairah. Bahwa  tidak  terdapatnya  perincian  status  kasus  hukum  disaat  terdapat beberapa  prediksi,  menempatkan  kasus  pada  keumumannya.  Wallahu a’lam.
(Lihat  al-Mughni  4/187-188,  Nashbur-Rayah  2/467,  al-Bada’i  2/237, Kasysyaf al-Qina’ 2/390-391 dan as-Sail al-Jarar 2/46-47)

APABILA SESEORANG MELAKUKAN HUBUNGAN DENGAN ISTERINYA NAMUN SELAIN JIMA’, SEMISAL MENCIUM DAN SELAINNYA, APAKAH MEMBATALKAN PUASANYA ATAU TIDAK ?

Yakni jikalau seseorang melakukan hubungan dengan istrinya, dan menikmati  hubungan  tersebut,  mencium  dan  mencumbu  istrinya,  tanpa melakukan  jima’  pada  siang  hari  Ramadhan. Dan  orang  tersebut  tidak dalam  keadaan  safar  atau  menderita  sakit  dan  juga  bukanlah  seseorang yang  mendapatkan  udzur  dari  syara’  hingga  dia  dibolehkan  untuk  tidak menunaikan  puasa  Ramadhan  pada  waktunya.  Apakah  puasa  orang tersebut batal ataukah tidak?
Dalam masalah ini, terdapat dua keadaan yang perlu ditinjau,
Pertama,  jikalau  hubungan  tersebut  tidak  sampai  menjadikannya  keluar mani atau madzi.
Keadaan yang kedua, jika dia sampai mengeluarkan mani atau madzi akibat hubungan tersebut.
TIDAK SAMPAI MENJADIKANNYA KELUAR MANI ATAU MADZI
Adapun keadaan yang pertama (tidak  sampai  menjadikannya  keluar mani atau madzi-red), ulama telah berbeda pendapat dalam hukum orang tersebut, dalam beberapa pendapat:
Pertama, Puasanya tidak menjadi batal. Dan dia diperbolehkan melakukan hubungan semisal mencium dan menggauli istrinya namun tidak sampai melakukan jima’.
Pendapat ini adalah pendapat Aisyah, Umar bin al-Khaththab, Abu Sa’id al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Hudzaifah, Ali bin Abi Thalib, Ummu Salamah, Atikah, Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Abu Salamah  bin  Abdurrahman  bin  ’Auf,  Sa’id  bin  Jubair,  asy-Sya’bi  dan Masruq.
Dalil  sandaran  pendapat  ini  adalah  beberapa  dalil  dari  sunnah, diantaranya,
Hadist  Aisyah -radhiallahu  ’anha-,  bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mencium  dan berhubungan  dengan  istri  beliau,  disaat  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sedang  menjalankan puasa. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang paling sanggup mengendalikan dirinya.”
(HR. al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 777)
Dan juga hadits dari Aisyah -radhiallahu ‘anha-, beliau mengatakan, “Adalah  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian dari istri  beliau  disaat  beliau sedang berpuasa.”
(HR. al-Bukhari no. 1928)
Dan  hadits  Hafshah  -radhiallahu  ’anha-,  beliau  berkata,  ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium -istrinya- disaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1107, an-Nasa`i 2/502 dan Ibnu Majah no. 1685)
Dan  Masruq  meriwayatkan  bahwa  dia  bertanya  kepada  Aisyah  -radhiallahu  ’anha-,  ”Apakah  yang  diperbolehkan  bagi  seorang  laki-laki terhadap istrinya disaat dia sedang berpuasa?”
Aisyah menjawab, “Segala sesuatu -dibolehkan- selain jima’.”
(HR. Abdurrazzaq 4/ no. 8439 dan Ibnu Abi Syaibah 3/63)
Dan dari Atha` bin Yasar dari seseorang dari kaum Anshar, bahwa dia mengabarkan kepadanya, “Bahwa dia telah mencium istrinya di zaman Nabi r sementara dia tengah berpuasa. Lalu dia menyuruh istrinya agar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.”
Maka  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ”Sesungguhnya  Rasulullah  melakukan  hal itu.”
Istri  orang  tersebut  lalu  mengabarkan  sabda  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.  Maka suaminya  berkata,  ”Sesungguhnya  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah  diberi  keringanan  pada beberapa hal. Kembalilah dan tanyakan hal itu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Istrinya lalu kembali menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan perkataan suaminya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya adalah yang paling bertakwa diantara kalian dan yang paling mengetahui akan hukum-hukum Allah.”
(HR. Abdurrazzaq 4/184)
Zhahir  hadits-hadits  diatas  menunjukkan  bahwa  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah melakukan hal tersebut, yakni mencium dan menggauli istrinya selain jima’.
Dan  perbuatan  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan  pembolehan,  sedangkan  klaim pengkhususan hanya pada  diri  Nabi r juga  terbantahkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Atha` bin Yasar dari seseorang sahabat Anshar.
Kedua, bahwa hubungan tersebut menggugurkan puasanya.
Pendapat  ini  adalah  mazhab  ulama  Malikiyah  dan  Hanafiyah.  Serta diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Qilabah, Ibnu al-Hanafiyah, Abu Rafi’, Masruq dan Ibnu Syabramah.
Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya; Firman Allah ta’ala,
“Dan  sekarang  gaulilah  mereka  dan  carilah  segala  yang  Allah  telah haruskan  bagi  kalian.  Dan  makan  dan  minumlah  kalian  hingga  menjadi jelas  bagi  kalian  benarng  putih  dari  benang hitam  dari  fajar. Setelah itu sempurnakanlah puasa hingga waktu malam.” (al-Baqarah: 187)
Dan hadits Jabir bin Abdullah, dimana disebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab berkata, “Saya telah terbawa luapan gembira hingga mencium istriku  sedangkan  saya  sedang  berpuasa.  Maka  saya  bertanya,  ”Wahai Rasulullah, saya telah melakukan sebuah dosa besar pada hari ini, saya telah mencium istriku, sedangkan saya sedang berpuasa.”
Maka  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  ”Bagaimanakah  pendapat  anda  jika  anda berkumur-kumur dengan air disaat anda sedang berpuasa?”
Saya menjawab, “Tidak mengapa.” Beliau bersabda, “Lalu ada gerangan apa -dengan mencium istri- !?”
(HR. Abu Dawud no. 2385, Ahmad 1/21, 215, ad-Darimi no. 1724 dan Ibnu Khuzaimah no. 1999)
Dan juga dengan atsar Umar bin al-Khaththab, beliau berkata, “Saya melihat berjumpa dengan Rasulullah di saat saya mimpi di malam hari dan beliau sama sekali tidak menoleh kepadaku. Lantas saya berkata, “Wahai Rasulullah, ada apakah denganku?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  ”Bukankah  engkau  telah  mencium  istrimu  disaat engkau sedang berpuasa?”
Maka  saya  berkata,  ”Demi  yang mengutus  Anda  dengan  kebenaran,  saya tidak akan mencium istriku lagi setelah itu disaat saya berpuasa.”
(Disebutkan oleh Ibnu Hazm didalam al-Muhalla 4/342)
Ketiga, bahwa hubungan tersebut suatu yang makruh, secara mutlak.
Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik, dan juga diriwayatkan dari Sa’id  bin  al-Musayyab,  an-Nakha’i,  Abdullah  bin  al-Mughaffal,  Sa’id  bin Jubair, Urwah dan dari Ibnu Abbas.
Argumen yang dijadikan sandaran oleh ulama yang mengemukakan pendapat ketiga ini adalah hadits-hadits pada bab permasalahan ini. Dan mereka  menempuh  metode  penyelarasan  antara  hadits-hadits  itu,  bahwa kesemuanya menunjukkan hukum makruh. Wallahu a’lam.
Keempat, bahwa hubungan tersebut diperbolehkan bagi seorang yang telah berusia lanjut dan makruh bagi yang masih remaja.
Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Makhul, asy-Sya’bi, Atha` bin Rabah dan az-Zuhri.
Adapun argumentasi ulama pada pendapat yang keempat ini, adalah hadits  yang  diriwayatkan  dari  Abu  Hurairah  -radhiallahu  ’anhu,  beliau berkata, “Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menggauli istri bagi seorang yang sedang berpuasa, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan baginya.  Kemudian  datang  seorang  lainnya  yang  menanyakan  hal  yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Dan  ternyata  yang  mendapatkan  keringanan  adalah  seorang  yang  telah berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.”
(HR. Abu Dawud no. 2387)
Dan atsar Ibnu Abbas  -radhiallahu ‘anhuma- bahwa beliau ditanya tentang  hukum  mencium  istri  bagi  seorang  yang  sedang  berpuasa?Lalu beliau memberi keringanan bagi yang telah berusia lanju dan membencinya bagi seorang pemuda.
(HR. Malik didalam al-Muwaththa` 1/93)
Kelima, bahwa hubungan tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil yang dijadikan sandaran pada pendapat ini adalah hadits ‘Amru bin  Abi  Salamah  bahwa  dia  bertanya  kepada  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  bolehkah seseorang mencium istrinya ketika sedang berpuasa?
Maka  beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallamr  bersabda  kepadanya, “Tanyakanlah  kepadanya -yaitu kepada Ummu Salamah-.” Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu.
‘Amru bin Abi Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, dosa-dosa anda yang terdahulu dan yang akan datang telah terampuni.”
Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallamr  bersabda  kepadanya,  ”Adapun  hal  tersebut,  demi  Allah, sesungguhnya  saya  adalah  yang  paling  bertakwa  kepada  Allah  diantara kalian dan yang paling takut kepada Allah diantara kalian.” (Telah disebutkan sebelumnya)
Dan juga dengan hadits Atha` bin Yasar terdahulu.
Keenam, bahwa bagi seseorang yang dapat menahan diri dan syahwatnya maka  berciuman dan berhubungan dengan istri selain jima’ diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi yang tidak dapat menguasai dirinya, hal semacam itu tidak diperbolehkan.
Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i.
Mereka berargumen dengan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- yang telah disebutkan sebelumnya, tentang seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  hukum  menggauli  istri  bagi  seorang  yang  sedang berpuasa,  yang  kemudian  beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberi  keringana  kepadanya.  Dan seorang lainnya menanyakan hal yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Dan  ternyata  yang  diberi  keringanan  adalah  seorang  yang  telah  berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.
Mereka  mengatakan,  dikarenakan  seorang  yang  berusia  lanjut, syahwatnya telah berkurang, dan dapat mengendalikan dirinya untuk tidak tergelincir pada hal yang terlarang, berbeda halnya dengan seorang pemuda.
Pendapat yang rajih/lebih tepat -insya Allah- adalah pendapat yang pertama.Bahwa  mencium  disaat  seseorang  sedang  mengerjakan  puasa tidaklah sampai membatalkan ibadah puasa dan tidak ada kaffarah baginya dan juga tidak diharuskan mengqadha`. Baik yang melakukannya adalah seorang yang telah berusia lanjut maupun masih seorang pemuda, baik dia dapat mengontrol dirinya ataupun tidak, selama dia tidak melakukan jima’
(hubungan intim) pada kemaluan istrinya. Pendapat ini yang didukung oleh dalil-dalil syara’.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut makruh, hadits-hadits yang  ada  pada  bab  ini  adalah  sanggahan  terhadap  pendapat  tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, dan tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu perbuatan yang terbenci (makruh).
Sedangkan   ayat   yang   dijadikan   sandaran   oleh   ulama   yang menghukumi batalnya  puasa karena  mencium dan menggauli istri selain jima’, ayat tersebut bukanlah dalil bagi pendapat ini. Dan jikalau, inferensi ayat  tersebut  diandaikan  sesuai  pendapat  ini,  hal  itupun  hanya  sebatas menunjukkan  larangan  menggauli  istri.  Dan  kandungannya  sangatlah umum. Mencakup menggauli istri hingga jima’ dan tidak sampai melakukan jima’.   Dan   hadits-hadits   yang   shahih   diriwayatkan   dari   Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan  maksud  ayat,  bahwa  menggauli  istri  selain  jima’  tidaklah sampai membatalkan puasa.
Atsar  Umar  bin  al-Khaththab,  bahwa  beliau  bermimpi  bertemu dengan  Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam,    …  dan  seterusnya.  Al-’Allamah  Ibnu  Hazm   -rahimahullah-   telah   mencela   bentuk   argumen   semisal   ini.   Beliau mengatakan,  ”Syariat-syariat  Islam  tidaklah  disadur  dari  mimpi.  Terlebih Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah  berfatwa  kepada  Umar  disaat  beliau  sadar  dan Rasulullah r masih hidup, akan pembolehan mencium istri bagi seseorang yang  berpuasa.  Maka  termasuk  kebatilan,  jika  hukum  itu  terhapuskan hanya dengan mimpi belaka. Na’udzu billahi dari hal ini.”
Dan  beliau  -rahimahullah-  juga  mengatakan,  bahwa  pada  sanad  atsar tersebut terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah bahwa dia perawi yang tidak dianggap sama sekali.
Hadist Jabir bin Abdillah, dapat dijawab sebagaimana perkataan anNawawi,  ” …  sabda  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  ”Bagaimana  pendapat  anda  jika  anda berkumur-kumur?”
Makna  hadits,  bahwa  berkumur-kumur  adalah  awal  mula  minum.  Dan anda  telah  mengetahui  bahwa  berkumur-kumur  tidaklah  membatalkan puasa, maka demikian halnya dengan mencium yang merupakan awal mula jima’ juga tidak membatalkan puasa.”
Sedangkan  ulama  yang  membedakan  antara  seorang  yang  telah berusia lanjut dan seorang pemuda, yang berargumen dengan hadits Abu Hurairah, dapatlah dijawab bahwa hadits yang menjadi sandaran hukum mereka adalah hadits yang dha’if, pada sanadnya terdapat Abu al-’Anbas dia perawi yang majhul.
Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- mengatakan, “Dan  yang  turut mendustakan  pendapat  yang  mengklaim  adanya  perbedaan,  bahwa  hal tersebut  makruh  bagi  pemuda  dan  dibolehkan  bagi  seorang  yang  telah berusia lanjut, adalah ‘Amru bin Abi Salamah seorang yang masih remaja dan dalam gejolak usia remaja beliau. Dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan ‘Amru bin Abi   Salamah   adalah   anak   Ummu   Salamah   ummul-Mukminin.   Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya denan putri Hamzah radhiallahu ‘anhu.
Dan juga telah dikemukakan sebelumnya bahwa Aisyah -radhiallahu ‘anhatelah  menyuruh  keponakannya  untuk  mencium  istrinya  Aisyah  binti Thalhah. Dimana keponakannya saat itu masihlah remaja.”
Sedangkan  ulama  yang  berpendapat  bahwa  hal  tersebut  berlaku khusus  hanya  bagi  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  dapat  dijawab  dengan  hadits-hadits lainnya,  semisal  hadits  Aisyah -radhiallahu  ’anha-  dan  selainnya  yang menunjukkan  pembolehan  hal  tersebut  bagi  selain  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Maka  klaim pengkhususan tersebut telah gugur dengan sendirinya.
(Lihat  didalam    al-Umm  2/84,  al-Minhaj  3/214,  al-Majmu’  6/323,  al-Muhalla 4/334-338 no. 753, al-Mughni 4/182-183, Zaad al-Ma’ad 2/57, al-Mawahib 3/331,  Kasysyaf   al-Qina’ 2/388-389,   Subul  as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)
SAMPAI MENJADIKANNYA KELUAR MANI ATAU MADZI (Tanpa Jima’)
Adapun keadaan yang kedua, jikalau hubungan intim tersebut, yakni mencium   atau   menggauli   istri   namun   tidak   sampai   terjadi   jima’ menyebabkan seseorang yang berpuasa tersebut mengeluarkan mani atau madzi, apakah membatalkan puasanya atau tidak?
Terdapat dua pendapat dikalangan ulama.
Pendapat sebagian besar ulama, yang juga merupakan mazhab Imam yang Empat, bahwa mencium dan menggauli istri selain jima’ hingga keluarnya mani  atau  madzi  dapat  membatalkan  puasa,  walau  mereka  berbeda pendapat hukum yang melakukan hal tersebut karena sengaja dan karena lupa.
Mereka  mengatakan,  karena  hal  tersebut  serupa  dengan  jima’. Sementara telah shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman, “Dia -seorang yang berpuasa- meninggalkan makan dan minumnya serta syahwatnya karena mengharapkan pahala dariku.” Dan amalan ini melazimkan adanya gejolak syahwat.
Sebagian  ulama  lainnya  berpendapat,  bahwa  hal  tersebut  tidaklah membatalkan   puasa,   baik   dia   melakukannya   dengan   niat   untuk mengeluarkan  mani  atau  madzi  ataukah  tidak.  Pendapat  ini  adalah pendapat yang dikuatkan oleh al-Faqih Ibnu Hazm, ash-Shan’ani dan asy-Syaukani  -rahimahumullah-. Karena hukum-hukum syara’  (puasa) dalam hal ini dikaitkan dengan jima’ semata.    Dan tidak terdapat satupun dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan pendapat shahabat yang mendukung pendapat yang menyatakan batalnya puasa karena hal tersebut.
(Lihat al-Muhalla  4/masalah no.  753, al-Majmu’  6/322-323, al-Mughni 4/182-183, Subul as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)
2          Atsar  Ali  bin  Abi  Thalib,  diriwayatkan  dari  jalan  Urjufah  dari  Ali,  beliau mengatakan, “Bagi siapa yang berbuka dengan sengaja pada siang hari Ramadhan maka  dia  selamanya  tidak  mengqadha`nya,  sepanjang  tahun,  tidak  sebagaimana yang mereka katakan apabila seseorang berhubungan intim dengan istrinya pada siang hari Ramadhan.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah didalam al-Mushannaf 2/no. 9785)
3       Atsar  Abdullah  bin  Mas’ud,  diriwayatkan  dari  jalan  Abdullah  al-Yasykuri,  dia
mengatakan,  Abdullah  berkata,  ”Barang  siapa  yang  berbuka  pada  siang  hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa -udzur- safar/bepergian jauh atau sakit, tidaklah dia selamanya mengqadha`nya, walau dia berpuasa setahun penuh.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah 2/no. 9800 dan al-Baihaqi didalam as-Sunan al-Kubra 4/228)
Sumber :  Edisi e-book dari “Risalah Ahkam Ramadhan” yang kami transkrip / salin dari artikel-artikel yang terdapat di web darelsalam yang merupakan tulisan dari Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary hafizhahullah
* * *

MENCUMBUI ISTERI

Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
Soal 25:
Apa hukumnya orang yang memeluk istrinya dan menciumnya tanpa berjima’?
Jawab:
Aisyah berkata, “Bahwasanya Nabi memeluknya di bulan Ramadhan.” Kemudian Aisyah mengatakan, “Siapa di antara kalian yang paling dapat menahan kebutuhannya?”
Dan Ummu Salamah mengatakan bahwasanya Nabi menciumnya, demikian pula Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi menciumnya. Dan Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi adalah orang yang paling dapat menahan kebutuhannya. Apakah Ummul Mu’minin ini termasuk seseorang yang paling dapat menahan kebutuhannya ataukah tidak. Maka yang jelas bahwasanya hal itu tidak mengapa. Akan tetapi apabila ditakutkan menyebabkan jima’ maka wajib baginya untuk meninggalkan hal itu.
Keluar mani setelah bercumbu
Soal ke-40 :
Seorang laki-laki mencumbui istrinya di siang hari di bulan Ramadhan kemudian ia keluar maninya sedangkan ia tidak mengetahui apakah hal itu haram ataukah tidak haram. Maka apakah diwajibkan atasnya sesuatu ?
Jawab
Apabila ia mencumbui istrinya dengan tujuan untukmemenuhi syahwatnya dengan mengeluarkan maninya di luar daripada farji (kemaluan) istrinya maka ia dianggap ber-dosa. Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda dari apa-apa yang meriwayatkan-nya dari Rabb-nya,
“meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.”
Dan apabila ia mencumbui istrinya dalam keadaan tidak mengetahui atau bodoh akan hukumnya maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah dan apabila ia mengetahui maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah jika ia mengetahui hal itu. Dan apabila ia mencumbui istrinya sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwa mencumbui ini adalah hal yang diperbolehkan baginya kemudian ia memeluknya dan ia beranggapan bahwa hal ini tidak haram atasnya kecuali jima’ kemudian setelah itu ia mengeluarkan mani dan ia tidak bermaksud untuk mengeluarkan mani, maka tidak apa-apa baginya. Dan walau bagaimanapun maka tidak diwajibkan atasnya untuk memberikan kafarah jima’ pada setiap keadaan, dan ini adalah ucapan (pendapat) Abu Muhammad bin Hazm dan ini adalah shahih.
Sumber  :
Buku Risalah Ramadhan, Kumpulan 44 Fatwa Syaikh  Muqbil bin Hadi al-Wadi’i,Judul Asli : Bulugh Al Maram min Fatawa Ash-Shiyam As-ilah Ajaba ‘alaiha Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Penerbit Pustaka Ats-TsiQaat Press – Bandung, penerjemah Ibnu Abi Yusuf, Editor Ustadz Abu Hamzah.

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Blogger templates

Copyright © 2012. valenza.com - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz